Curahan Hati Sang Pewarta - SUMBAR TERBARU

Breaking

SUMBAR TERBARU

Berbagi Berita Berbagi cerita

loading...

Post Top Ad

Loading...

Post Top Ad

Wednesday 21 March 2018

Curahan Hati Sang Pewarta

Hidup tak selamanya manis, meski tak jua selalu getir. Seperti rasa, ada asam, kecut, manis, pahit, gurih, renyah tapi kadang liat dan ketus. Penuh rasa penuh warna.


Hidup menempuh perjalanan, melintas ruang dan waktu. Adakala jalan mulus tanpa rintangan namun tak jarang jua ada kerikil tajam dan berbatu. Berlumpur, terseok, licin, terjerembab, tersandung, terlonjak, terpuruk, merangkak.

Bagitulah hidup! Penuh warna penuh rasa! Kadang harus berhenti sejenak, menunggu kesempatan. Kadang terlanjur melangkah, melewati peluang. Bersyukur jua ketika kesempatan dan peluang bisa tertangkap dengan baik dan ketika itu hidup pun terasa berbinar.

Aku mengawali langkah kaki, menjalani hidup sesungguhnya ketika usia menginjak remaja. Merantau menjadi pilihan ketika di kampung halaman aku rasa tidak ada yang bisa ku lakukan. Setidaknya waktu itu, ketika usia remajaku menjelang!

Berbekal tekad dan kemauan, walaupun aku tidak juga terlalu bodoh. Lumayan, kecerdasanku dalam ukuran akademik mungkin di atas rata-rata, walau hanya mengenyam pendidikan setingkat sekolah lanjutan atas.

Ya...! Aku tidak mengenyam jenjang pendidikan di perguruan tinggi! Setidaknya waktu itu! Tapi di sekolah, sejak tingkat dasar, di kelas aku selalu juara satu. Tak pernah ku lepas hingga kawan-kawan sekelas ku rasa menjadi cemburu!

Ah...! Untuk apa juga aku ceritakan indahnya masa itu! Hanya untuk sekedar kilas balik masa indah remaja putih abu-abu, cukuplah! Aku tidak belajar di sekolah umum, tetapi sekolah tempat mendidik calon guru, walau akhirnya aku memilih tidak menjadi penerus ilmu!

Hidup di kampung terlalu pahit, asin dan getir waktu itu! Berbekal uang beberapa puluh ribu, ku langkahkan kaki meninggalkan rumah ibu. Jakarta menjadi tujuanku, berharap menemukan arah di kehidupan baru.

Perlu aku katakan, aku selalu ingin tahu terhadap sesuatu yang aku rasa aku mampu! Ketika aku tahu, aku ingin mencoba dan belajar untuk menguasai! Itu bekalku, hingga aku melakoni banyak usaha di ibukota. Aku mencoba menarik keuntungan dari buah tangan untuk sekedar menyambung hidup, walaupun sebenarnya aku berharap ada yang bisa ku tekuni untuk menggapai masa depan.

Dalam hiruk pikuk kehidupan ibukota, aku mengerjakan banyak hal. Mulai yang bersifat sosial hingga yang murni komersial.

Aku melihat kenyataan, masih banyak orang-orang yang tidak berada di pihak keberuntungan. Ada yang menjadi pengangguran dan hidup di jalanan. Ada yang mengais untuk mencari barang rongsokan. Walau ada juga yang hidup melarat karena kemalasan.

Tapi aku berpikir, apapun keadaannya, sebetulnya hanya karena mereka tidak mendapat kesempatan. Mereka menganggur karena tidak mendapat kesempatan mengenyam pendidikan tinggi sebagai syarat diterima bekerja di perusahaan bonafit atau menjadi pegawai negeri.

Mereka mengais sampah hanya karena tidak ada pekerjaan lain yang bisa mereka dapatkan. Sementara yang melarat karena malas, itu juga sesungguhnya hanya karena mereka akhirnya patah arang untuk mencari pekerjaan.

Semua ku pelajari, beberapa diantara mereka ku coba mencari solusi, setidaknya sementara sampai kepercayaan diri mereka kembali. Begitu mereka, begitu juga aku! Kehidupanku sendiri sebetulnya tidak begitu baik, namun berbekal semangat dan kemauan, Alhamdulillah aku bisa bertahan!

Hingga akhirnya aku melangkah ke kehidupan fase berikutnya, berkeluarga! Jatuh bangun, terlentang tertelungkup! Hingga singkat kata aku putuskan untuk kembali! Menapak lagi jalan asal dari mana aku memulai! Pulang kampung! Memboyong mereka yang telah menjadi bagian kehidupanku!

Awalnya aku bingung, apa yang harus aku lakukan! Hingga aku menggoreskan tulisan untuk setiap langkah perjalanan!

Oh, yaa...! aku telah menghabiskan ratusan, mungkin ribuan lembar kertas untuk sekedar menorehkan kisah dari setiap perjalanan, perasaan, bahkan kisah roman kehidupanku. Kebiasaan itu sudah aku lakukan sejak aku mulai terbiasa memegang pensil dan pena, hingga aku terbiasa merangkai kata demi kata.

Aku bersyukur menguasai dengan baik ilmu tata bahasa dan selalu mendapat nilai istimewa untuk pelajaran ini waktu sekolah. Aku perlu berbangga, aku bisa membaca ketika lidahku masih cadel untuk berkata. Dengan asik aku membaca selembar koran di ruangan kepala sekolah ketika ibuku tengah mendaftarkan aku untuk menjadi murid berpakaian putih merah.

Kemampuan membaca yang ku punya mengantarkan aku selalu menjadi juara, karena aku sudah paham ketika teman-teman masih harus mengeja. Dan ternyata, kemampuan ini yang akirnya menambatkanku pada pekerjaan ku sekarang, seorang Pewarta!

Kebingunganku terjawab, era berubah! Masyarakat semakin mendapat kesempatan mengontrol kinerja pemerintah. Era itu disebut reformasi, dimana sistem demokrasi tegak lebih kokoh, memberikan kekuasaan tertinggi kembali kepada rakyat secara lebih sempurna, dibanding era sebelumnya.

Instrumen pengontrol kinerja pemerintah pun bermunculan. Salah satunya adalah media massa! Pemerintah membuka ruang, untuk menciptakan kehidupan demokrasi yang berimbang. Berbekal ilmu dan pengalaman yang telah campur aduk, sosial, psikologi,pedagogik, ekonomi hingga politik yang diperkuat kemampuan menulis, aku menjadi percaya diri untuk terjun ke dunia jurnalistik.

Tahun ini, 2018, sebelas tahun sudah ku geluti profesi ini. Pahit, manis, getir, asam, kecut, gurih, renyah tetap akan ada, sebagai warna dan rasa kehidupan nyata. Atas kepercayaan pimpinan yang menugaskanku dalam berbagai medan dan situasi, memberiku kesempatan mengikuti berbagai pelatihan, aku tertempa oleh pengalaman, mengantarkan aku mendapatkan sertifikasi madya, sebagai bukti kompetensi seorang pewarta.

Satu hal yang membuatku bangga, menjadi seorang pewarta tanpa disadari banyak membantu sesama, meski tidak dengan harta. Membangun jalan dan jembatan, cukup dengan menyambung lidah masyarakat yang mengharapkan. Lahan terlantar, bisa diolah kembali dengan menuliskan kebutuhan masyarakat akan irigasi.

Begitu benarlah terasa, walau tak sedikitpun mengharap balas jasa. Tak terpikir itu, karena profesi ini sesungguhnya adalah sangat mulia. Ada anekdot yang mengumpamakan, jurnalis adalah perpanjangan tangan Tuhan. Semoga saja!

Yang pasti, selama aku masih bisa menulis, selama masih ada yang akan ditulis, selama menulis belum dilarang, aku akan tetap menulis. Merangkai kata demi kata, mengabarkan berbagai peristiwa! Menyambung lidah warga yang ingin mendapatkan kue pembangunan kepada penguasa! Semoga!

No comments:

Post Top Ad

loading...