Ketika Adzan Subuh Menggema - SUMBAR TERBARU

Breaking

SUMBAR TERBARU

Berbagi Berita Berbagi cerita

loading...

Post Top Ad

Loading...

Post Top Ad

Tuesday 1 August 2017

Ketika Adzan Subuh Menggema

CERPEN : FEBRY D CHANIAGO

Suara perempuan mengaji dari mesjid tengah kampung “menyambut” kepulanganku setelah sembilan tahun tak pernah pulang ke kampung ini. Ibu dan ayah menyambutku dengan keharuan. Pukul 10 lewat lima menit malam ketika aku sampai di rumah kelahiranku. Ibu tak banyak bertanya dan membiarkan aku beristirahat.


Sampai ibu membangunkanku untuk santap sahur, suara perempuan mengaji lewat pengeras suara dari mesjid itu masih ku dengar. Suara itu masih sama dengan suara saat aku datang tadi malam. Dan sepertinya suara itu pernah akrab di telingaku, namun aku tak yakin. Sejenak suara perempuan mengaji itu menghilang. Aku mengerling jam tanganku. Pukul empat lewat lima menit. "Mungkin perempuan itu berhenti mengaji untuk makan sahur,"pikirku. Tak sengaja aku menolehkan muka ke arah mesjid, meski aku tahu mesjid itu takkan kelihatan dari dalam rumah ini. Meski hanya sesaat, ternyata ibuku sejak tadi memperhatikan tingkahku. Beliau seperti membaca fikiranku yang tengah tertuju kepada suara perempuan mengaji dari mesjid di tengah kampung.

"Itu si Anisa anak Haji Mansur, imam mesjid di kampung kita, teman sepermainan kamu dulu. Sekarang menjadi guru. Ia juga mengajar mengaji di mesjid untuk anak-anak di kampung ini," ibuku bercerita tanpa kutanya.

Oh, ternyata Anisa benar-benar menyampaikan niatnya menjadi guru. Anisa! Teman sepermainanku waktu kecil, teman sekolah dan mengajiku. Seperti apa dia sekarang? Dan fikiranku pun melayang hingga suara ibu membuyarkan lamunanku.

"Habiskan makanannya Rizki, hampir masuk waktu imsak. Nanti kita langsung ke mesjid untuk Sholat Subuh," ibuku seperti membaca keinginanku untuk bertemu Anisa yang hanya ku terawang lewat fikiranku tadi.

Lima belas menit menjelang adzan Subuh. Aku memasuki mesjid di tengah kampung yang sudah mulai terlihat ramai. Aku melihat belasan orang duduk melingkar di bagian tengah ruangan mesjid. Masing-masing memegang Al Quran. Ada Anisa duduk diantara mereka. Kenangan masa lalu kembali bangkit dalam fikiranku. Aku menuju kesana.  “Assalamu ‘alaikum,” aku mengucapkan salam.

"Alaikum salam," beberapa orang menjawab berbarengan. Aku mengambil posisi sambil bertanya sampai dimana ayat yang sedang dibaca. Sebenarnya itu hanya untuk menutupi kecanggunganku ketika aku sempat melihat Anisa tersipu melirikku tadi. Darahku berdesir. Lirikan yang sudah tidak pernah aku dapatkan lagi sejak sembilan tahun lalu. Kali ini aku rasakan maknanya lebih dalam.

Aku melihat sekeliling. Beberapa orang diantaranya masih aku kenal dengan baik. Ada Irfan yang dulu sering bolos mengaji. Ada Ujang, yang tak pernah "lempang" membaca huruf Qalqalah dan ada pula Joni yang dulu paling suka menggoda anak perempuan. Di bagian perempuan kulihat ada Winda yang sejak dulu menjadi teman akrab Anisa. Adapula Wita, yang sangat pemalu. Aku tidak sempat memperhatikan lagi yang lainnya karena tadarusan sampai kepada giliranku. Ketika aku memulai membaca, aku masih merasa beberapa pasang mata masih memperhatikanku, termasuk Anisa. Aku yakin karena sesaat sebelum aku mulai membaca aku masih sempat mengerlingkan mata ke arahnya.

Tak lama setelah aku selesai mengaji, muadzin pun mengumandangkan adzan Subuh. Kami membubarkan diri menuju shaf Sholat untuk menunaikan Sholat sunat beberapa rakaat hingga akhirnya Haji Mansur menuju tempat imam dan Iqamah pun berkumandang.

Selesai Sholat, satu per satu jamaah mulai meninggalkan mesjid. Aku langsung bergabung bersama Joni, Irfan dan Ujang serta beberapa orang teman lainnya untuk menyapa mereka. Maklum, sudah sembilan tahun tak bertemu. Mereka mengajak aku untuk jalan-jalan menghirup udara pagi, Asmara Subuh katanya. "Ah, ada-ada saja anak-anak ini!" fikirku. Tapi aku mengikuti juga langkah mereka, berharap bertemu dengan teman-teman lainnya.

Di pagar mesjid, kulihat Anisa berdiri bersama beberapa orang temannya. Aku langsung mengucapkan salam kepada mereka. Meski masih terlihat canggung namun Anisa memberanikan diri bertanya," Kapan pulang, Ki?"

"Aku baru pulang semalam dan tidak sempat Sholat taraweh. Katanya kamu sudah menjadi guru?" tanyaku.

"Iya, baru lulus penerimaan sebulan lalu. Kamu bagaimana?"

"Aku sementara ini masih bekerja di perusahaan swasta dan kebetulan mulai bulan ini aku dipindah kesini,"kataku.

"Oh, ya? Pulang kampung, dong!" katanya.

"Iya tapi nggak taulah berapa lama aku ditugaskan disini," kataku.

Aku lalu mengajak Anisa dan teman-teman lainnya ikut jalan-jalan, sekalian ngobrol dan menghirup udara pagi. Anisa tak menolak karena dulu selepas Subuh kami juga sering jalan bersama-sama berkeliling kampung. Banyak juga kaum ibu dan kaum bapak yang ikut menikmati suasana pagi ini karena memang udara pagi katanya baik untuk kesehatan.

Tak terasa aku berjalan beriringan dengan Anisa. Bercerita tentang banyak hal. Hingga akhirnya aku tercekat pada suatu pertanyaan," Mana cincin yang dulu kamu pinjam, Ki?"
Pertanyaan Anisa mengagetkanku. Ternyata dia masih ingat dengan cincin itu. Dan sumpah mati aku tak pernah melepasnya sampai sekarang. Aku menunjukkan jari kelingking kiriku dimana cincin itu setia melingkar.

"Ini, aku masih tetap memakainya sampai sekarang. Tapi kalau ternyata hari ini aku harus melepasnya aku juga rela," kataku sedikit bersastra.

Anisa terdiam, tetapi sempat kulihat wajahnya merah padam, mungkin menahan malu. Sungguh, dari dulu aku menyukainya. Tapi itu tak pernah ku wujudkan dalam ucapan. Hanya ketika aku sempat berpamitan karena aku harus melanjutkan kuliah ke tempat kakakku di Kota, cincin itu terletak dekat sajadah aku iseng mencoba memasukkannya ke jariku. Ternyata ketika aku membukanya sangat susah. Anisa diam saja waktu itu. Ia hanya berpesan agar jangan sampai hilang. Kini ia kembali menanyakan cincin itu.

Berawal dari cincin, pembicaraan kami mulai serius. Kalau dulu kami sering bertemu namun aku masih belum berani mengungkap perasaan. Kini, mungkin karena sudah dewasa, aku mulai berani bertanya hal-hal yang lebih dalam. Anisa sering terpojok dengan pertanyaanku.

“Apa sudah ada yang akan memakai cincin ini Ica?” aku bertanya memancing keadaan dan memanggil Anisa dengan nama kecilnya yang hanya aku yang memanggilnya seperti itu. Orangtuanya memanggil dengan nama Anis.  

Sejenak diam. Pancinganku justru membuat aku berdebar. Bagaimana kalau Anisa menjawab sudah dan hilanglah kesempatanku. Salah aku juga tidak dari dulu mengungkapkan perasaan ini. Melihat Anisa diam, aku semakin tak karuan. Aku mulai mencoba untuk membuka cincin itu. Sebuah cincin dengan permata mungil yang telah setia melingkar di jariku selama sembilan tahun. “Mungkin, tapi biarlah dulu. Aku juga belum mau kamu mengembalikannya,”

“Taaanngg....!” jawaban Anisa membuat aku kaget setengah mati. Aku lihat ia begitu tenang menjawab. Aku tak sempat membuka mulut untuk bertanya. Berbagai fikiran berkecamuk. Anisa tetap tenang. Ia seperti menikmati rasa galauku yang tak dapat ku sembunyikan kali ini. Padahal dari dulu aku selalu bisa menyembunyikannya dari Anisa. Ia tak bicara lagi setelah itu, hingga langkah kami sampai di depan rumahnya.
--------------****************----------------------
Ku percepat langkah kaki menuju mesjid, selepas berbuka puasa bersama ibu dan ayah. Sempat ibu bertanya tentang aku dan Anisa. Entah kenapa ibu seolah selalu bisa membaca fikiranku, meski ibu tidak tahu tentang cincin ini. Suara Anisa terdengar mengumandangkan ayat-ayat suci lewat pengeras suara di menara mesjid. Aku seperti tak mau lebih lama lagi untuk segera bertemu dia. Meski hanya sekedar membuat janji jalan-jalan besok pagi selepas Subuh.

Aku masuk ke mesjid lebih awal. Belum banyak jamaah berada di dalam. Hanya beberapa orang termasuk Anisa. Belum ku lihat juga Haji Mansur, Imam mesjid, bapaknya Anisa. Aku langsung mengambil wudhu dan menuju kelompok tadarusan. Sempat kulihat Anisa memandangku, diikuti teman yang lain. Aku duduk dan mengucapkan salam. Lalu serius menekuni Al Quran dihadapanku. Lewat Wita kusampaikan agar besok selepas Subuh Anisa mau ikut jalan-jalan. Selepas taraweh aku langsung pulang karena aku harus mempersiapkan beberapa berkas untuk ku sampaikan ke kantor perwakilan, tempat aku yang baru.

Selepas Sahur aku tak sempat datang ke mesjid lebih awal karena masih ada beberapa berkas yang harus aku persiapkan. Namun fikiranku sedikit kacau karena tak terdengar suara Anisa mengaji. Yang ku dengar hanya suara Wita dan Winda serta suara yang lain. Tidak suara Anisa. Dalam gundah aku jadi tak konsentrasi. Akhirnya kuputuskan untuk menunda dan berangkat ke mesjid.  

Tepat ketika aku sampai, suara Adzan berkumandang. Aku langsung menuju tempat berwudhu dan menunaikan sholat sunat. Tak sempat lagi aku perhatikan apakah Anisa ada diantara jamaah perempuan di belakangku. Aku juga tidak ingin melirik ke belakang karena kurang etis melihat ke arah jamaah perempuan. Aku pendam keingintahuanku sampai selesai Sholat Subuh. Aku bergegas menuju gerbang mesjid, kalau-kalau Anisa sudah lebih dulu ada disana. Ternyata masih kosong. Aku menjadi jamaah pertama yang keluar dari mesjid. Malu juga rasanya, tapi daripada disiksa perasaan. Tak lama Anisa berjalan keluar mesjid bersama Wita dan Winda, aku baru bisa bernafas lega. Belum sepenuhnya lega karena pertanyaanku belum terjawab. Anisa mendekat. Aku langsung bertanya apakah Wita menyampaikan pesanku. Anisa justru menjawab mengejutkan.

“Dari dulu tak pernah ada pesan tetapi setiap pagi sepulang dari mesjid kita tetap jalan, kan?” kata Anisa. Aku seperti orang bego kali ini. Tingkahku semakin tak karuan. Aku kehilangan kata-kata. Dan sebelum sempat lebih larut, Anisa mengajakku. Aku menuruti langkahnya disusul Wita, Winda dan teman lainnya. Kami sengaja berjalan perlahan dan Wita seperti sudah mengatur semuanya. Ia berjalan sedikit di depan memberi kesempatan kepadaku untuk berbicara kepada Anisa.

“ Aku masih belum mendapat jawaban mengenai cincin ini, Ica!” kataku membuka suara. Kulihat Anisa melirik sepintas dan kemudian memandang ke depan. Ke arah orang yang berlalu lalang berjalan pagi. “Dan aku penasaran dengan pertanyaan Wita tadi, mengapa tidak dari dulu?Apa artinya Ica?” sergapku lagi.

Ica hanya tersenyum. Ia sangat tenang memainkan perasaannya. Tak salah kalau ia memilih menjadi seorang guru. Tak terbaca olehku apa yang difikirkannya kali ini. Misteri! Aku sudah tidak sabar ingin mengetahui, siapa yang akan memakai cincin ini. Cincin yang telah setia melingkar di jariku selama sembilan tahun lebih. Kukenakan tanpa ada perjanjian atau ikatan apapun, bahkan juga tidak pernah tahu perasaan masing-masing. Aku menyukainya tapi tak pernah mengungkapkannya, sementara aku sendiri tak pernah tahu bagaimana perasaannya kepadaku. Keakraban kami yang terjalin waktu dulu membuat aku selalu berhati-hati terhadapnya.

“Mengapa kamu harus khawatir dengan itu, Ki?” Anisa mulai membuka pembicaraan. Aku gelagapan. Apakah sekarang waktunya harus mengungkapkan apa yang aku pendam terhadapnya? Aku galau. Lama aku terdiam mendapat pertanyaan itu. Akhirnya aku beranikan juga menjawab dengan hati-hati.

“Aku khawatir cincin ini akan lepas dari jari ini,” aku mulai membuka dan bahkan sangat terbuka malah. Anisa sudah tahu kini bagaimana perasaanku kepadanya. Persahabatan yang terjalin sejak kecil telah menumbuhkan benih cinta yang berakar kokoh dihatiku. Anisa kini tahu itu. Aku tak mampu membayangkan jika saja ini akan menjadi bencana bagi persahabatan kami. Aku diam ingin tahu bagaimana jawaban darinya.

Lama Anisa sengaja diam. Ia begitu pintar memainkan perasaan. Begitu dewasa. Kami masih menusuri jalan setapak hingga akhirnya langkah ini hampir mencapai rumahnya. Di sebuah polongan kecil Anisa sengaja berhenti dan duduk sejenak. Aku tak berani duduk disampingnya, takut disangka yang tidak-tidak. Dengan tetap berdiri pandanganku tak lepas dari Anisa. Sekilas ia tersenyum dan dengan sedikit meledek ia mencibir ke arahku.

“Bagaimanapun pintarnya kamu menyimpan perasaan, aku yakin suatu saat aku pasti tahu, Ki,” jawab Anisa mengagetkanku.

“Maksudmu?” aku balik bertanya.

“Bagaimana kalau aku jawab cincin itu sudah ada yang memilikinya?” Anisa kembali memainkan perasaanku dan aku terjebak dengan pertanyaannya.

“ Aku takkan rela kalau pemiliknya bukan aku, Ica,” kataku spontan dan ini menjadi Anisa tersenyum lebar namun wajahnya terlihat merona.

“Benar, kan? kamu tak akan bisa menyembunyikan itu selamanya dariku,” kata Ica. Ia begitu tenang mengucapkannya. Aku akhirnya mengalah dan memang aku kalah. Tapi kekalahanku kali ini berbuah sungguh manis, karena Anisa melanjutkan ucapannya.

“Cincin itu sekarang milikmu, dulu hanya kau curi dan waktu sembilan tahun bukan waktu yang singkat untuk mempertahankannya, Ki,” Anisa mengungkapkan perasaannya dengan bijak. Aku salut meski ia juga merasakan hal yang sama denganku namun ia masih bisa menata ucapannya dengan baik, tanpa hanyut oleh perasaannya. Ternyata ia juga menyukaiku. “Terima kasih Ica, maaf kalau aku telah menodai persahabatan kita dengan perasaan ini,” ungkapku.

“Tidak Rizki. Justru persahabatan itu telah memberi aku kesempatan mengenalmu lebih lama. Sampai sembilan tahun kamu tak pernah pulang dengan membawa cincin itu bersamamu. Aku seperti sudah berada dalam sebuah ikatan yang tak mungkin terlepas. Itulah ketika pertama kali bertemu yang aku tanyakan adalah cincin itu. Ternyata kau menjaganya dengan baik Rizki. Sama dengan waktu kamu menjaga aku dulu. Mudah-mudahan perasaan aku benar tentang kamu!” Anisa menuturkan perasaannya.

Aku semakin salut dengan kematangannya. Tidak seperti remaja lain yang sedang jatuh cinta, Anisa sangat matang dan dewasa. Padahal aku merasakan ungkapan yang sangat dalam dari ucapannya. Dari tuturnya yang sanggup bertahan sembilan tahun menunggu nasib cincin itu, terlihat ia sangat mencintai aku. Tanpa harus kuucapkan kepadanya, aku sudah siap mengikatnya dalam sebuah mahligai perkawinan. Ternyata perasaan cinta yang aku pendam selama ini tidak bertepuk sebelah tangan. Dan ternyata selama ini Anisa mengetahui perasaanku sehingga ia harus menunggu sampai aku kembali untuk mengetahui apakah perasaan yang ia pendam akan berjawab.

Sepulang dari kantor, aku sempatkan mampir ke toko perhiasan, mencari sebuah cincin yang sama persis dengan cincin Anisa yang kini aku pakai. Tak susah, aku mendapatkannya di sebuah toko, persis sama. Penjaga toko sampai terheran dengan kemiripan cincin itu. Aku hanya berseloroh, mungkin ini sudah jodoh. Selepas itu aku tergesa pulang dan menuju rumah Anisa. Ada Haji Mansur dan istrinya yang baru pulang dari mesjid. Ia menawari aku duduk dan Buk Hajah Rukiah, istrinya, ibunya Anisa bergegas masuk kedalam memanggil Anisa. Anisa muncul di depan pintu. Haji Mansur dan Buk Rukiah seperti memberi kesempatan kepada kami berdua. Mereka berlalu ke dalam.

Disaat duduk itulah, aku raih tangan Anisa. Sedikit bergetar karena aku belum pernah memegang tangan Anisa sebelumnya, kecuali ketika dulu ia pernah hampir terjatuh dari tangga mesjid. Kini aku memegang tangan itu dengan sengaja. Dan cincin yang aku beli siang tadi aku keluarkan dari kantong. Perlahan aku selipkan cincin itu ke jarinya. Pas! Ku coba tarik untuk memastikan apakah cincin itu melingkar erat. Cukup erat dan ku yakin tidak akan lepas kecuali jika memang Anisa sengaja melepasnya dan tidak ingin memakainya.

“Ica! Maaf, aku berdosa telah memegang tanganmu. Supaya tidak lagi ada dosa, secepatnya aku akan sampaikan kepada orangtuamu untuk “Maanta Kue” sesuai adat kita. Hari ini, aku resmi memintamu untuk menjadi pendampingku,” kataku sambil melepas pegangan tangannya.

Aku lihat dia diam dan akhirnya sebulir air mata bahagia meluncur di sudut matanya. Lirih ia berucap, terima kasih, Ki! Kamu telah menjaga rasa itu meskipun kamu tak pernah tahu kalau aku juga sangat menyayangi kamu. Mata Anisa berbinar bahagia. Aku juga lebih bahagia telah berhasil mengungkapkan semua perasaan ini. Dan tanpa aku sangka ternyata Pak Haji Mansur dan Buk Hajah Rukiah sudah hadir dihadapan kami dan ternyata merestui hubunganku dengan Anisa. Akhirnya hitungan pun dibuat oleh pihak keluarga, selepas Bulan Ramadhan kami akan segera menikah. (****)
                                             ANang (Anak Nanggalo), 02 Ramadhan 1432 H

Post Top Ad

loading...