Ketika Laut Tanpa Perasaan - SUMBAR TERBARU

Breaking

SUMBAR TERBARU

Berbagi Berita Berbagi cerita

loading...

Post Top Ad

Loading...

Post Top Ad

Saturday 28 October 2017

Ketika Laut Tanpa Perasaan

Gelombang (ilustrasi/internet)
" Yang aku tahu, kini aku seorang diri. Sebatang kara. Dia merenggutnya. Dia menelannya.  Ayah dan ibuku.. Mereka ditelan semesta. Ditiadakan dan dimusnahkan oleh laut. Tanpa belas kasihan"





DESVY SAGITA RAMADHYANTI
Kelas X Tari SMKN 7 Padang

Aku pernah bermimpi untuk menjadi seperti laut. Seperti ombak, bergerak dengan cantik namun tetap kuat. Menghantam pantai dengan gagah berani. Tak ada yang bisa menghalangi jalannya.

Saat senja tiba, seolah mengerti apa yang dirasakan matahari, ia pun ikut memantulkan guratan jingga di permukaannya. Seakan merasa kasihan pada matahari yang akan menenggelamkan diri, menyinari belahan bumi lain. Luar biasa Indah. Lukisan Sang Maha Pencipta. Menantang langit saat siang tiba. Bagaikan cermin, membentang biru, tak mau terpisah.

Aquarium besar itu adalah penghidupan kami. Manusia amis di tepi pantai. Yang bersahabat akrab dengan terik matahari. Kaki kaki kumuh tanpa alas, mencium panasnya bentangan pasir, menjilat tetesan darah goresan karang. Entah berapa kali sudah ia meminta ampun, menjerit, tak kuasa sungguh. Hingga akhirnya, ia memilih diam. Seolah tak merasakan apa apa.

Aku mencintai laut seperti aku mencintai ibu dan ayahku. Walau tubuh renta mereka sudah tak kuat untuk berdiri, kaki mereka bergetar hebat ketika menapak. Namun dengan hati yang seribu kali lebih kuat dari baja, serta tekad yang menggelegar. Tak ada alasan bagi mereka untuk tak tersenyum padaku, mengisyaratkan bahwa mereka baik baik saja.

Perahu kecil bak kapal ferry, ikan bak berlian. Semangat mereka sungguh luar biasa. Meski tangannya sudah ribuan kali tergores tali tali kapal. Tapi masih kuat untuk melambai padaku saat hendak mengarungi samudera.

Aku hanya termangu menatap kepergian mereka. Berdoa kepada Tuhan. Memohon kepada laut. Agar mengembalikan sepasang malaikat itu padaku dengan selamat. Selama ini, doaku selalu dikabulkan tuhan. Permohonanku didengar laut. Mengembalikan orang tuaku sepenuhnya ke hadapanku.

Tangan mereka membentang lebar bersiap memelukku dengan senyum yang selalu aku rindukan. Terimakasih Tuhan. Terimakasih Laut. Karena itu aku mencintai laut sampai saat ini.

Hingga pada suatu hari. Laut tak lagi seindah yang ku lihat. Suara yang dahulunya terdengar gagah, kini mulai marah. Gelombang yang dulunya tegar kini mulai kasar. Seolah murka. Seolah dendam. Pada apa?? Entahlah.. Aku tak tahu.

Yang aku tahu, kini aku seorang diri. Sebatang kara. Dia merenggutnya. Dia menelannya.  Ayah dan ibuku.. Mereka ditelan semesta. Ditiadakan dan dimusnahkan oleh laut. Tanpa belas kasihan.

Terbayang senyuman terakhir yang dilontarkan padaku dengan tulus. Tangan yang memelukku lembut. Kini sudah tiada. Digulung gelombang lembut yang dulu kucinta. Tak kusangka sungguh. Hari itu, laut mengambil jiwaku dari ragaku. Tanpa perasaan!
*Cerita pendek ini telah diterbitkan di Harian Pagi Padang Ekspress*

No comments:

Post Top Ad

loading...