MIKO - SUMBAR TERBARU

Breaking

SUMBAR TERBARU

Berbagi Berita Berbagi cerita

loading...

Post Top Ad

Loading...

Post Top Ad

Saturday 11 November 2017

MIKO


CERPEN: Desvy Sagita Ramadhyanti
Kelas XI Tari 1 SMKN 7 Padang

"Aku tak bisa mengejarmu. Tak bisakah kau datang kesini dan berlari bersamaku?" sudah tak kupedulikan lagi tubuhku yang sudah kuyup diguyur hujan. Tak kupedulikan beberapa pasang mata yang memandang aneh kearahku. Yang ku inginkan hanyalah kau, Miko.


"Aku merindukanmu!" kata kata itu selalu kau ucapkan padaku. Tak pernah absen mengisi hari hariku. Seketika itu aku senang. Aku tenang karena aku merasa kau takkan menemukan kebahagiaan lain selain aku. Kau terlihat sangat bahagia bersamaku, Miko.

Aku hanya bisa tersenyum. Kupandangi manik matamu. Kucari kebohongan disana. Betapa senangnya aku ketika tak kutemukan kebohongan itu. Saat itu juga aku membatin 'Ahh.. Ini orangnya! Yang aku cari!'

"Miko? Seandainya kau harus berlari, aku akan mengejarmu. Aku tak ingin kau meninggalkanmu. Jadi kuharap kau takkan pernah berlari dariku, karena mungkin suatu saat aku terjatuh dan tak bisa mengejarmu!" kau hanya tersenyum mendengar penuturanku. Senyumu, Miko. Kenapa selalu kutemukan kedamaian disana. Kenapa terus saja kutemukan kenyamanan disana. Selalu bisa membuatku rindu akan dirimu.

Kau menatapku dalam. Matamu seolah membiusku. Sungguh, tak pernah kutemukan kedamaian yang lain selain tatapanmu.

"Jika memang aku harus berlari, aku takkan pernah melepaskan tanganmu. Kita akan berlari bersama!" kenapa kata katamu terdengar seperti mantra cinta di telingaku, Miko? Aku tersihir. Takkan ku biarkan orang lain memilikimu.
...
"Miko?" kau tak juga menyahut. Entah berapa kali sudah ku tuturkan nama mu. Berharap kau akan menoleh padaku. Hampir 30 menit aku duduk dihadapanmu, dikedai kopi saat itu. Tak satupun tanya ku yang kau jawab. Ada apa ini, Miko? Kau masih saja memandangi rintik hujan yang mengalir dipermukaan kaca kedai itu. Rinai hujan mencurimu. Mencuri perhatianmu. Hingga mungkin kau tak sadar aku telah duduk disitu.

"Miko?" panggilku lagi. Dan akhirnya kau menoleh. Betapa herannya aku ketika melihat wajahmu. Tak ada keceriaan disana. Tak ada senyum disana. Yang ada hanyalah tatapan jengkel. Pada siapa, Miko?

"Tak bisakah kau diam sejenak? Kau selalu saja menggangguku!" kau mulai meninggikan nada bicaramu.
"Aku hanya ingin kau melihat dan bicara padaku." kataku menundukkan kepala. Kau menarik nafas kesal.
"Aku tak ingin bicara denganmu. Dan kau tahu, aku sudah jenuh melihat wajahmu!"

Kaki ku bergetar. Krystal bening itu membendung dimataku. Seolah tak sanggup lagi ku tahan. Kau berdiri beranjak meninggalkanku yang masih bergelut dengan sejuta fikiranku. Kupandangi punggungmu yang menembus sela sela rintik hujan.

" Kenapa kau begitu? Kenapa.. kau mengguyur badanmu ditengah tengah hujan itu? Aku tak ingin.. kau sakit. Tahukah kau, aku.. sangat mengkhawatirkanmu." Aku terisak. Dadaku terasa sesak. Ku genggam payung yang sedari tadi kupegang. Aku membawakannya untukmu. Namun kau malah memilih untuk membagi cerita dengan hujan. Bukan denganku.

Kupandangi layar smartphoneku. Fikiranku tak lepas darimu sejak siang tadi. Ada rasa sedih yang membuncah. Kucoba memahami. Mungkin kau sedang ada masalah yang tak ingin kau bagi denganku. Aku mengerti.

"Kau baik baik saja?" ku kirimkan sebuah pesan singkat padamu. Jika tak mau berbicara, mungkin kau mau sekedar mengetik untuk bercerita padaku.
"Ya" jawabmu singkat. Benar benar singkat dalam pesan singkat itu.
"Kau sedang ada masalah, Miko? Jika memang ya, ceritakanlah padaku. Mungkin aku bisa membantumu."
"Berhentilah mengganggu privasiku!"
"Baiklah kalau begitu." Obrolan kita berakhir hanya dengan 5 buah pesan singkat. Singkat.

Banyak yang ingin kutanyakan padamu. Banyak sekali. Aku kesepian. Namun seperti biasa, aku hanya bisa mengukirkan pena ku. Merangkai kata. Entah sejak kapan, menulis menjadi kegemaranku. Dengannya, sepi ku hilang. Tak kurasakan lagi kesepian. Tentu saja kau lebih dari itu, Miko.

Akan kuberikan cerita ini padamu besok. Kuharap kau menyukainya. Dan memang kau selalu menyukai tulisanku. Hampir puluhan kali kau baca. Semoga kali ini pun begitu.
Waktu telah menujukkan pukul 2 dini hari. Aku belum juga puas dengan tulisanku. Masih banyak keindahanmu yang harus kuceritakan.
...

Kutemui kau dikedai kopi tempat biasa kita berjumpa, diujung gang. Kau sudah menunggu dengan secangkir kopi kesukaanmu.
"Maaf, aku telat." kutarik kursi dihadapanmu.
"Apa yang mau kau berikan?" kusodorkan sebuah buku padamu. Ya, buku yang kutulis tadi malam. Kau mangambilnya. Mulai membalik halaman per halaman. Ada sedikit kerutan di keningmu saat itu, Miko.

"Aku membuatkanmu cerita. Kuharap kau.." ucapanku terhenti saat kau melemparkan buku itu dan mengenai cangkir kopi. Membuat buku itu basah diseparuh bahagiannya. Sontak aku terkaget. Kau tak pernah begini, Miko. Kau selalu menikmati tulisanku. Kenapa tidak lagi sekarang? Ku telusuri setiap lingkar matamu. Aku tak menemukanmu. Tak kutemukan Miko yang kukenal. Yang kudapati hanyalah tatapan kemarahan. Bukan, itu bukan kemarahan tapi kebencian.

"Kau menyuruhku menunggu lama hanya untuk memberikan dongeng pengantar tidur ini padaku? Terlalu kekanak kanakkan. Aku tak sama sepertimu yang selalu kesepian hingga mampu membuat seribu satu cerita. Aku sibuk. Tak ada waktu bagiku untuk membaca dongeng dongengmu ini.!" Tak kusangka sungguh, kata kata itu keluar dari mulutmu. Jantungku terasa akan melompat keluar. Cairan bening membasahi pipiku. Membuat aliran sungai kecil disana. Ingin ku berteriak. Merutuki diriku sendiri.

Tahukah kau betapa berartinya buku itu bagiku? Aku mencintai buku itu sama seperti aku mencintaimu. Jiwamu ada didalam buku itu. Semua keindahanmu yang membuatku tersenyum. Semua tentangmu. Kau bilang dongeng,Miko? Dongeng itu kau. Kau yang ada dalam dongeng itu. Memang aku kesepian. Selalu kesepian. Aku kesepian karenamu. Aku kesepian tanpamu. Tapi tak bisakah kau sedikit menghargainya? Memberi pertanda padaku bahwa kau menyukainya. Jika memang tidak, tak bisakah kau berpura pura untuk menyukainya?.

Seandainya saja aku bisa mengatakan itu semua. Tetapi tidak. Aku tak bisa mengatakannya. Aku terlalu menyayangimu.

"Begitukah? Lalu untuk apa kau membacanya selama ini? Dongeng dongeng pengantar tidur itu? Apakah tidurmu nyenyak karenanya?" tak bisa lagi kukatakan berapa banyak air mata yang sudah mengaliri wajahku. Tak sanggup lagi kutahan kesedihanku.

"Tidak, sama sekali. Mimpiku menjadi buruk karenamu." perkataanmu seolah menusukku seribu kali. Kali ini, langit pun ikut bersedih. Hujan itu seakan mengerti perasaanku. Tak sepertimu yang seolah tak peduli. Ingin sekali ku tuli kan pendengaranku saat itu juga.

"Benarkah? Maafkan aku jika memang begitu. Agar kau tak bermimpi buruk lagi, pergilah! Tinggalkan aku!" kata kata yang awalanya tak pernah ingin kukatakan padamu. Tidak, bahkan tak pernah terfikirkan olehku. Seketika aku menyesal mengatakannya padamu. Andai bisa ku tarik kembali pernyataanku.  Tapi semuanya sudah terlanjur.

Kau melangkah keluar. Menyelusup ditengah hujan. Sekarang kau tak sendirian. Ada payung yang menemanimu. Ada payung yang melindungimu. Aku masih terdiam. Lama ku melamun. Namun kemudian, aku berlari. Mengejarmu. Tapi, ku terjatuh. Aku terisak. Tangisku tak terbendung di tengah hujan. Ku pandangi punggungmu yang tertutup payung. Kini kau benar benar berlari. Berlari dari ku.

"Miko... Bukankah kau berjanji? Kau tak akan lari dariku? Kenapa kau meninggalkanku?" berusaha ku berteriak sekeras kerasnya berharap kau akan berbalik dan kembali padaku.
"Aku tak bisa mengejarmu. Tak bisakah kau datang kesini dan berlari bersamaku?" sudah tak kupedulikan lagi tubuhku yang sudah kuyup diguyur hujan. Tak kupedulikan beberapa pasang mata yang memandang aneh kearahku. Yang ku inginkan hanyalah kau, Miko.

"Bagaimana bisa kau benar benar pergi ketika aku menyuruhmu pergi..!" langit mulai bergemuruh. Seakan ikut memarahiku. Masih kupandangi dirimu disela sela hujan. Bibirku seolah terbungkam. Suaraku lenyap. Aku tak bisa hanya untuk sekedar berkata "Kembalilah!".

Kau berkata bahwa kau mengkhawatirkanku. Tapi kenapa kau tak peduli saat aku terguyur hujan seperti ini? Aku menyayangimu. Tak bisakah kau kembali? Kau berjanji akan terus menggenggam tanganku dan membuatku bahagia. Apakah ini bahagia yang kau maksud? Aku menyuruhmu pergi bukan berarti aku tak menginginkanmu lagi. Jadi kumohon kembalilah. Aku kesepian. Sangat sangat kesepian.

Aku kembali berdiri. Berusaha mengejarmu. Jika kau tak mau berbalik, aku akan berusaha mengejarmu. Walau kakiku bahkan tak kuasa lagi hanya untuk sekedar menapak. Hanya kata maaf yang ingin ku katakan padamu. Terus kuberjalan. Tertatih. Hingga tanpa kusadari.
....

Braaakk..
Sebuah mobil berkecepatan tinggi menabraku. Aku terpental jauh. Dan jatuh ke tanah. Masih saja kupandangi punggungmu saat itu.  Walau pandanganku kabur, aku bisa melihat kau berbalik. Kau menatapku, miko. Aku tersenyum senang.

"Akhirnya..." nafasku tersenggal. Kau berlari kearahku. Menjatuhkan payung yang sedari tadi kau genggam. Kau menghampiriku.

Kau tahu betapa senangnya aku saat itu. Aku bisa melihat wajahmu lagi. Kau terduduk di sebelahku. Mengangkatku kedalam pelukanmu.

"Nada..! Nada..!" kau terus saja menguncangkan tubuhku. Aku bahagia, Miko. Kau memanggil namaku. Ku sentuh pipimu dengan tanganku yang mulai melemah.
"Kau tak akan bermimpi buruk lagi sekarang. Kau tak perlu pergi, aku akan pergi untukmu."
"Tidak, Nada. Aku tak ingin kau pergi. Maafkan aku!" kau menggenggam tanganku. Air matamu mulai menetes. Aku menggeleng pelan. Ku seka air mata dipipimu.
"Jangan menangis... Maafkan aku.. Aku menyayangimu.." seketika tubuhku melemah. Tak bisa ku gerakkan. Pandanganku memudar. Tak bisa ku lihat wajahmu dengan jelas. Kau hanya terpana menatapku. Beberapa detik kemudian.

"Nada....!" kau berteriak. Kau peluk tubuhku yang sudah tak bernyawa ditengah guyuran hujan.

Kuharap kau menemukan kebahagian lain selain aku. Jangan pernah merasa kesepian sepertiku. Sunggu, itu sangat mengerikan. Disaat tak ada lagi orang yang akan kau bagikan cerita. Ahh.. Bukan, bahkan untuk sekedar dongeng pengantar tidur. Tak ada satupun. Saat itu lah kau harus menulis. Apa pun itu. Dan belajarlah menghargai apa yang harusnya dihargai, walau itu tak berharga bagimu.

Kini aku tak bisa menulis lagi. Tak bisa melihatmu lagi. Kurasa aku benar benar akan merasa kesepian. Tapi setidaknya, aku masih bisa mengingatmu dalam memoriku.
Terima kasih.. Maafkan aku.. Aku menyayangimu, Miko!

No comments:

Post Top Ad

loading...